Namanya Langit. Ia ... menarik.
Aku suka matanya. Cokelat, tapi tidak keruh. Bening seperti embun. Matanya itu selalu bercahaya. Apalagi ketika ia sedang tertawa. Caranya menatap selalu berhasil buat orang-orang (atau hanya aku?) tersipu malu. Entah bagaimana prosesnya, tatapan yang dalam itu akan membuatmu percaya bahwa kamu pun berharga dan adalah sesuatu yang patut diperhitungkan adanya.
Bibirnya adalah secangkir cokelat panas yang disesap pagi-pagi. Manis. Senyumnya persuasi. Kalau ia melakukannya, kamu akan lupa segalanya kecuali bahagia. Tidak peduli bagaimana kondisimu saat itu (betapapun rapuh dan jatuhnya kamu), kamu akan secara otomatis melengkungkan bibirmu saat ia melakukan hal yang serupa. Mungkin karena ketulusan yang ditawarkannya, semua jadi sesederhana itu.
Kalau kamu pernah memeluknya, mungkin kamu tau bagaimana arti nyaman sesungguhnya. Pasti kamu ingin tinggal di dekapnya selamanya dan tidak pernah pergi. Untuk apa berlalu kalau kamu bisa jadi seperti bayi polos yang tertidur nyenyak di dadanya. Peluknya ... adalah rumah musim hangat.
Ia jarang diam. Kalaupun bungkam, biasanya ia sedang memikirkan
sesuatu atau sedang menikmati waktu. Meskipun begitu, ia tidak pernah
tidak tampak damai. Tentu saja. Dia adalah langit. Biru, tenang, menenangkan.
Mungkin deskripsiku berlebihan. Mungkin karena aku sedang jatuh cinta. Tapi ... begitulah.. entahlah.. terserah.. Toh tiap-tiap orang merasakan sesuatu dengan cara dan kapasitas yang berbeda.
- 13 Agustus 2014, 17:24
- 13 Agustus 2014, 17:24